Kamis, 07 Januari 2010

Bunuh Diri di Mata Putri Kecil

Lagi keranjingan baca blok, visit² blog asyik yang sudah banyak dikenal orang, owh, lumayan mengasyikkan. Tapi aku bener-bener syok ketika membaca blog seseorang yang bener-bener nggak diragukan lagi kekonyolannya, namun kali ini berbeda, karena topik yang dibicarakannya adalah kematian. Dan dari orang paling konyol ini aku menyadari sesuatu, seperti seliter air murni yang melegakan kehausanku, dari orang konyol nan cerdas itu, aku merasa sangat close dengan yang namanya kematian.
Aku rasa aku pernah memikirkan kematian, dulu, waktu aku kecil. Mamah cerita, kalau mamah marahin aku, atau menegur tindakanku yang salah, aku mengancam mamah dengan mengatakan, “Putri bunuh diri aja!” seakan-akan bunuh diri itu gampang. Seakan-akan mati itu mudah. Well, kupikir mungkin jika saat itu aku bunuh diri aku akan masuk surge, secara baru sekitar 6-8 tahu gitu. Masih holly, nah kalau sekarang, apa aku bisa menjamin kalau yang menungguku dikehidupan masa datang adalah hamparan surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai seperti yang terdapat di kitab suci?
Sekarang, hal yang masih aku ingat tentang kelakuan bodoh waktu kecil mengenai bunuh diri, adalah cuplikan episode kehidupan kelam, screen itu menampakkan aku yang berdiri mematung dengan mata terpicing pada satu benda, pisau ‘baduk’ berukuran sedang, yang digantung di paku. Aku, anak sekecil itu, hanya gara-gara hal sepele, memikirkan bunuh diri, how stupid I am! Lagian, kalaupun saat itu aku masuk surga karena dosaku belum dihitung, mungkin aku tidak akan pernah menikmati indahnya surga itu. Apa yang akan terjadi pada mamah? Pada papah?
Jadi sejak kapan, aku sudah lupa, tidak pernah sedikitpun terbersit dalam hidupku untuk bunuh diri. Aku istimewa. Tuhan selalu menciptakan segalanya dengan keistimewaan masing-masing. Apapun, bagaimanapun orang memandangku, tak pernah lagi menjadi alasan bagiku untuk mengakhiri hidupku. Aku tak ingin lagi bertindak bodoh. Mamah dan Papah menungguku, menggantungkan impian mereka digenggamanku. Dan jika tangan ini malah mengkhianati dirinya dengan menghilangkan jiwaku, bagaiman harapan dan impian orang tuaku bisa terwujud?
Mungkin karena hal itu, sekarang aku mulai belajar menerima apa yang diinginkan Mamah padaku untuk menjadi seorang bidan. Padahal, pelajaran program jurusan yang paling membuatku jungkir balik adalah Biologi, dan aku masih tidak bisa berdiri tegak melihat luka, darah, ataupun hanya pergelangan tangan, atau urat nadi, mengetikkan kata-kata itu saja membuat perutku mual. Tapi, aku belajar menerima, belajar berani. Aku tidak ingin mengecewakan mereka. Aku memilih jalanku dengan mengikuti jalan mereka. Apa itu masih bisa dikatakan memilih? Ya! Aku memilih untuk membahagiakan mereka memuaskan keinginan mereka. Semoga aku bisa menjalaninya, dan tak pernah terpikir sedikitpun untuk bunuh diri…
Dengan-Nya yang berat terasa ringan. Dengan-Nya saya dan banyak orang selalu punya harapan, sebab Dia yang memungkinkan kemustahilan, Dia yang menciptakan keajaiban, bagi hamba-hamba-Nya.(dikutip dari: Catatan Hati diSetiap Sujudku by Asma Nadia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar