Selasa, 01 Desember 2009

Inilah Saatnya!

Bingung, mulai dari mana, tapi saya harus memulai bukan? Ya, saya tidak bisa menundanya lagi. Inilah tulisan pertama saya di dalam blog ini. Judul pertama yang saya pilih diatas merupakan hal yang sangat menyindir saya sekarang. Bagaimana tidak, kalimat itu seperti berada di dalam kepala saya, sangat dekat, tapi saya tidak mempu meraihnya dan membenamkannya ke hati saya. Itulah kenapa sekarang saya sedikit lebih mengerti apa beda pikiran dan perasaan. Saya telah berpikir, bahwa inilah saatnya bagi saya untuk benar-benar menata kehidupan saya, memandang hidup saya secara efektif, namun perasaan saya masih jengah dengan kenyataan. Dia masih saja berontak, saya ingin mengecamnya, tapi apakah wajar ketika pikiran saya sendiri harus mengecam perasaan saya sendiri. Well, akhirnya saya mengambil keputusan bodoh untuk membiarkan keduanya. Membiarkan perasaan saya terbelenggu pada banyak hal ’bukan ini’ dan pikiran saya melanglang buana pada hal-hal ‘inilah saatnya’. Membingungkan bukan?
Beberapa tahun lalu, saya lupa, ketika pertama kali saya membaca sebuah sub bab dalam buku Self Developing pertama saya, Quantum Learning karya Bobbi DePorter & Mike Hernacki. Saya memahami sesuatu, sesuatu yang mendalam, mengakar kuat dalam benak saya. Sesuatu yang menyelamatkan saya dalam menghadapi Ujian Nasional SMP yang awalnya merupakan momok terberat bagi saya, dan sesuatu itu berhasil membuat saya mendapatkan peringkat diluar dugaan saya, dan membuat saya diterima di semua sekolah yang saya ingin masuki. Sesuatu yang sederhana, namun sangat berharga bagi saya, yaitu keyakinan.
Keyakinan, bukan sebuah keyakinan vertikal, namun keyakinan pada diri saya sendiri, keyakinan yang meneriakkan dengan lembut setiap kalimat positif ketika otak saya megap-megap mempersiapkan diri belajar mati-matian, keyakinan bahwa ‘Inilah saatnya!’.
Bukan hal yang mudah bagi saya untuk menghadapi bejibun materi Ujian Nasional, saya ingat betapa kerasnya saya berusaha ketika itu, pagi, dari rumah pukul 06.15 sampai pukul 13.20 di sekolah. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran tambahan di sekolah, mulai pukul 14.00 sampai pukul 16.00, kemudian hari saya terus berlanjut dengan mengikuti bimbingan belajar pada sebuah tempat les swasta sampai pukul 18.00. betapa keluhan mengalir deras dari mulut saya, dan betapa raga saya hampir tak mampu menanggung itu semua, namun keyakinan itu membuat saya bertahan.
Awalnya, sangat sulit bagi saya untuk berkonsentrasi pada pelajaran, karena ketika guru sedang menerangkan di luar, pikiran saya melanglang buana ke tempat tidur di rumah, betapa asyiknya jika saya bergelung saja di dalam selimut sambil membaca novel atau komik. Ketika tutor sedang menjelaskan materi penting, saya malah asyik menulis cerpen, memikirkan banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran, karena saya berpikir, ini bukan saatnya. Bukan saatnya bagi saya belajar di pagi yang dingin ini karena saya masih mengantuk, bukan saatnya saya belajar di siang yang terik ini karena otak saya lelah dan saya kepanasan sehingga tidak dapat berkonsentrasi, bukan saatnya bagi saya belajar di senja twilight ini karena saya sudah tidak mampu lagi menerima pelajaran, lalu kapan saatnya? Seharian yang berharga itu akhirnya saya habiskan untuk menyatakan pada diri saya sendiri bahwa ini bukan saatnya.
Setelah membaca sub bab itu saya mengerti, bahwa saya telah menyianyiakan hidup saya hanya karena saya berpikir bahwa ini bukan saatnya. Hanya karena pikiran konyol yang menyenangkan sesaat tersebut saya memperburuk kualitas hidup saya. Pikiran konyol itu menjauhkan saya dari hidup saya saat itu, dan seperti yang dikatakan DePorter itu adalah bisikan ego saya, bagian dari saya yang selalu mencari kesenangan dan kenyamanan. Tetapi, ada nilai dalam ketidaksenangan dan ketidaknyamanan itu. Dia menggerakkan benak saya pada keadaan yang lebih aktif dan melebarkan zona kenyamanan saya untuk memberika penglaman yang lebih luas.
Ketika suasana boring meliputi kegiatan belajar saya siang itu, saya berusaha untuk berpikir positif, betapa sangat bermanfaatnya saat ini jika saya berpikir focus dan terpusat, tertarik, dan terlibat di dalamnya. Menjadi siswa yang aktif. Dan betapa herannya saya ketika saya mampu memahami dan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan guru saya itu. Saya menikmatinya dengan semangat, tanpa memikirkan novel, komik, atau cerpen yang sedang saya susun.
Saat itu saya menghidupkan segala sesuatu yang saya kerjakan, membuatnya efisien dan sempurna, menemukan manfaat apapun di dalamnya, saya mencurahkan segala yang saya ketahui untuk mengerjakan hal tersebut lebih baik daripada sebelumnya. Keteguhan, ketelitian, dan positif feeling membuat saya melakukan yang terbaik. Sikap positif ini merasuki setiap bidang kehidupan saya, dan saya pun menikmati waktu-waktu luang saya, karena saya berpikir dan berkeyakinan bahwa inilah saatnya mencintai dengan jujur apa yang saya lakukan.
Saya adalah pemenang saat itu!
Namun sayang, pohon keyakinan itu tidak bertahan lama, dia mati kering saat saya melangkah kelingkungan baru SMA saya. Saya telah merasa kalah saat pilihan saya tidak diambil. Saya merasa menjadi pecundang ketika saya tidak memahami secara komprehensif apa yang dijelaskan, padahal saya belajar mati-matian. Dan kini, pohon itu masih kering meranggas, walaupun perlahan saya mulai menyiramnya lagi, memupuknya lagi dengan hujan pikiran positif yang akan menyuburkannya kembali. Saya membutuhkannya, bukan hanya karena sebentar lagi ulangan semester ganjil, namun karena saya membutuhkan pohon keyakinan tersebut dalam hidup saya selamanya, karena bagaimanapun, ketika telah mengadakan perjanjian hidup dengan Sang Pencipta, saya telah mendedikasikan diri saya sebagai pembelajar seumur hidup, untuk itu saya sangat memerlukannya. Bagaimana dengan anda? Inilah saatnya untuk menjawab pertanyaan itu!
Referensi: Quantum Learning, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar